South Jakarta – Belakangan ini lagu “Forever Young” milik grup musik synth pop asal Jerman, Alphaville, kembali menjadi viral. Padahal lagu tersebut dirilis lebih dari 40 tahun lalu atau tepatnya pada 20 September 1984 silam. Lagu “Forever Young” diambil dari debut album Alphaville dengan judul yang sama dengan lagu tersebut. dirilis pada 27 September 1984 oleh Warner Music Group. Selain “Forever Young”, 3 single lainnya juga dirilis untuk mendukung album tersebut yaitu “Big in Japan”, “Sounds Like a Melody” dan “Jet Set”. Album tersebut berhasil menduduki tangga lagu dengan baik, mencapai Top 20 di enam negara Eropa dan meraih nomor 1 di Norwegia dan Swedia. Alphaville merilis album kedua mereka pada tahun 1986 yang berjudul ‘Afternoons in Utopia’.
Band ini awalnya berencana untuk merilis “Forever Young” sebagai singel kedua mereka, untuk mengikuti kesuksesan “Big in Japan”. Namun, eksekutif studio rekaman meminta band untuk merilis lagu tambahan di antara kedua singel tersebut, dan sebagai hasilnya “Sounds Like a Melody” ditulis dan diaransemen hanya dalam dua hari. Tekanan perusahaan ini menyebabkan Gold tidak menyukai lagu tersebut dan dia menolak untuk memainkannya secara langsung selama lebih dari 15 tahun. Bernhard Lloyd mengatakan album ‘Forever Young’ direkam menggunakan peralatan seperti mesin drum Roland TR-808 dan Linn LM-1, Roland System-100M, ARP String Ensemble, dan mesin Roland SDE 200 Digital Delay. Album ini direkam pada pita kaset Tascam 8-track, dan mereka menggunakan mesin Friendchip SRC untuk menyinkronkan semua track.
“Forever Young” memiliki dua video. Video resmi yang disutradarai oleh Brian Ward menampilkan band tersebut tampil di salah satu aula di Holloway Sanatorium di Virginia Water, Inggris, dengan orang-orang berpakaian compang-camping berjalan melalui portal bercahaya berbentuk berlian. Video remix tersebut merupakan video animasi dari anggota band yang berinteraksi dengan referensi budaya pop. Video tahun 2022 menampilkan pertunjukan di studio dengan orkestra.
Menilik ke belakang, Alphaville dibentuk setelah vokalis Marian Gold dan Bernhard Lloyd bertemu di Berlin Barat pada tahun 1981. Keduanya ternyata sangat dipengaruhi oleh artis indie Inggris seperti Tubeway Army, Gary Numan, dan Orchestral Manoeuvres in the Dark (OMD). Awalnya keduanya membentuk band bernama Forever Young sebelum berganti nama Alphaville yang terinpirasi dari film fiksi ilmiah di tahun 1965. Pada tahun 1982 akhirnya Marian Gold dan Bernhard Lloyd bersama dengan Frank Mertens membentuk band dengan konsep trio bernama Alphaville di Munster, Jerman.
Pada tahun-tahun awal, Marion Gold mengatakan bahwa “tidak seorang pun dari kami yang benar-benar bisa memainkan alat musik. Musik itu ada di kepala kami, tetapi kami bergantung pada synthesizer dan drum machine dan hal-hal seperti itu. … Peralatan yang kami miliki saat itu pada dasarnya adalah mainan, synthesizer monofonik termurah yang dapat Anda bayangkan. Kami memiliki studio kecil di ruang bawah tanah, membuat beberapa demo dan mengirimkannya ke beberapa perusahaan rekaman untuk mencoba mendapatkan kesepakatan. Kami tidak punya banyak harapan, tetapi kami mendapat tiga tawaran dan sejak saat itu semuanya terjadi dengan sangat cepat.”
Dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post di tahun 2017 lalu. Marion Gold yang saat ini menjadi satu-satunya personil tersisa di Alpahville mengungkapkan tentang hits Alphaville sepanjang masa, “Forever Young”, Itu adalah salah satu lagu yang muncul begitu saja. Itu adalah fenomena. Bernard yang menciptakan playback dan kord, dan lagu itu sudah memiliki bagian terompet di dalamnya. Saya membawanya pulang, sangat menyukainya [dan] menulis liriknya. Saya datang dan menyanyikannya dan berpikir, “Ya, itu lagu yang bagus. Mungkin sedikit terlalu komersial di bagian chorus.” Lagu itu dirilis dan menjadi sesuatu dengan sendirinya. Saya tidak punya penjelasan untuk itu. Lagu itu menyentuh begitu banyak hati, jiwa, dan pikiran karena tampaknya lagu itu berbicara kepada setiap generasi. Atau kepada setiap masalah di dunia. Lagu itu memiliki judul yang fantastis yang saya curi dari Bob Dylan. Tapi, hei, Rod Stewart melakukan hal yang sama. (Tertawa)”
Ketika ditanyakan bagaimana Alphaville saat itu membuat suatu karya, Marion Gold menjelaskan, “Tak satu pun anggota pertama band, termasuk saya, adalah musisi. Kami pada dasarnya adalah penggemar musik. Kami akan duduk di depan stereo mendengarkan musik dari artis yang kami sukai dan hanya bermimpi membuat musik kami sendiri. Tiba-tiba dengan penemuan mesin ini, menjadi mungkin bagi kami untuk membuat musik kami sendiri. Ide-ide kami, melodi di kepala kami, menjadi hidup dan instrumen akan memainkannya. Kami juga menolak untuk melakukan tur besar dengan pemutaran ulang atau musisi tambahan karena tidak sesuai dengan ideologi hippie kami. Bagi kami itu tampak seperti kebohongan. Jadi kami tidak melakukan tur sampai pertengahan tahun 90-an.”
Meskipun demikian, kesuksesan lagu “Forever Young” dan Big in Japan” tidak disangka-sangka oleh Alphaville, “Kesuksesan itu datang bagai longsoran salju. Awalnya kami bukanlah bintang yang diharapkan semua orang. Kami hanyalah orang-orang biasa. Itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan, tetapi kami mengalami banyak kesulitan dalam menangani situasi tersebut, secara psikologis. Anda tidak bisa keluar karena orang-orang mengenali Anda. Kami menjadi sedikit paranoid tentang hal itu. Kami mengasingkan diri. Bersembunyi. Kami tidak melakukan banyak wawancara. Manajer kami hampir bunuh diri karena itu. (Tertawa)”.
Meskipun sukses secara komersial di Inggris pada tahun 1980-an, Alphaville belum pernah tampil langsung di Inggris saat itu. Segera setelah kesuksesan album ‘Forever Young’, Frank Mertens meninggalkan band tersebut pada bulan Desember 1984. Ia digantikan pada bulan Januari 1985 oleh Ricky Echolette pada kibor dan gitar. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2022, Marian Gold mengatakan bahwa ia “sedikit terkejut” ketika mendengar lagu “Forever Young” bermain saat ia berada di lift atau di supermarket.

