South Jakarta – Selasa malam, 15 Juli 2025, kawasan Blok M, Jakarta Selatan tampak lebih hidup dari biasanya. Kala di Kalijaga, sebuah ruang kreatif yang dikenal dengan nuansa eklektiknya, menjadi titik kumpul para penikmat musik independen untuk menyaksikan Swag Event episode 111.
Sekitar pukul tujuh malam, penonton mulai berdatangan, sebagian besar tampak akrab dengan atmosfer event yang rutin diselenggarakan ini. Mereka bukan sekadar pengunjung, tetapi komunitas yang tumbuh dari semangat apresiatif terhadap musik lokal.
Eno Suratno Wongsodimedjo dan Ncek Gaul, dua jurnalis musik yang mengampul program ini, membuka acara dengan gaya khas mereka yang santai namun tajam. Interaksi mereka dengan penonton tidak hanya mencairkan suasana, tetapi juga memperkuat kesan bahwa ini bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan ajang silaturahmi dan perayaan bersama.
Penampilan pertama datang dari Afterclip, grup band asal Cibubur yang belakangan ini menarik perhatian dengan album “Lukisan Terindah”. Saat mereka membawakan karyanya, suasana mendadak berubah menjadi kontemplatif.
Penonton terdiam, bukan karena bingung, tapi karena larut dalam aransemen musik yang intens dan lirik yang resonan. Salma dan Dimas di vokal membawa emosi yang tidak dilebihkan, tapi cukup untuk menciptakan ikatan batin dengan yang mendengarkan.




Randa Oktovandy dan Frietsa Rianty kembali membawakan “Labil”, lagu yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi anthem bagi mereka yang sedang bergulat dengan dinamika perasaan. Kian menarik adalah chemistry panggung mereka yang saling melirik, saling mengimbangi vokal, dan menunjukkan kepaduan yang membuat penonton percaya bahwa lagu itu bukan hanya dikarang, tapi benar-benar dialami.
Asrilia Kurniati tampil berikutnya dengan pendekatan berbeda, yakni format full band dengan bantuan dua penyanyi latar. Ketika ia menyanyikan “Dimana Salahnya,” suasana menjadi hening secara kolektif.
Penonton tidak hanya mendengar, mereka tampak seperti sedang merenung bersama. Momen ini mengukuhkan bahwa kekuatan Asrilia terletak pada penyampaian emosi yang tak dibuat-buat.
Menutup malam, grup musik Rangkai naik panggung dengan pendekatan musikal yang berbeda. Tidak banyak yang tahu riwayat mereka, tapi penampilan mereka tidak bisa dianggap remeh. Lagu-lagu mereka memadukan unsur ambient dan folk dengan eksperimen bunyi yang menyegarkan.
Tanpa banyak bicara, mereka membiarkan musiknya sendiri berkomunikasi, dan hasilnya cukup mengejutkan. Penonton bertahan hingga lagu terakhir, seolah menunggu pesan terakhir yang ingin disampaikan lewat nada.
Nomor-nomor dari album “Pekik Hening di Lantang Angan” dibawakan dengan syadu, lewat petik akustik gitar, ketuk lembut Gender, dan contrabass yang dimainkan.
Swag Event episode 111 bukan hanya soal siapa tampil dan lagu apa yang dibawakan. Ia adalah cerminan dinamika komunitas musik kota ini: penuh warna, jujur, dan terus mencari bentuk baru untuk menyampaikan sesuatu yang sebenarnya sederhana—perasaan.
Di tengah hiruk-pikuk industri, malam itu menjadi pengingat bahwa musik tidak selalu perlu panggung besar, cukup ruang yang tulus dan pendengar yang mau membuka hati.
(SPR)

